Sabtu, 12 Agustus 2017

Peci,lebih dari sekedar kain penutup kepala

Sejarah adalah pondasi masa sekarang, ketika membaca buku sejarah Indonesia pada masa pergerakan melawan penjajahan imperialisme, banyak terlihat para pejuang bangsa semisal Soekarno, Sutan Sjahrir, Moh. Hatta selalu menggunakan peci hitam yang sangat khas sekali. Sepertinya Peci menjadi hal yang mewakili kebangsaan atau nasionalisme bangsa Indonesia saat itu. Peci adalah bagian khas cara berpakaian sebagian umat muslim di Indonesia. Sebagai penutup kepala, Peci adalah sunnah nabi dan mereka meyakini bahwa menggunakan penutup kepala berarti mereka mencintai nabinya. Mereka berpendapat kebiasaan menelanjangi kepala, tanpa peci atau surban adalah kebiasaan orang di luar Islam. Dalam sebuah hadist diriwayatkan bahwa “Amr bin Huroits radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa, Nabi Shallallahu‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah, sedang beliau memakai surban hitam” (HR Muslim dan Abu Dawud).

Sudah lazim kita melihat kaum muslim mengenakan peci dalam melaksanakan salat atau ibadah keagamaan lainnya. Sudah lumrah di televisi kita menyaksikan para pejabat mengenakan penutup kepala jenis ini di setiap event penting yang mereka jalani, seperti saat rapat kabinet, sidang parlemen, ataupun menerima tamu negara. Peci dikenakan sebagai pelengkap busana jas, kemeja, dan dasi. Sebenarnya apa pentingnya makna peci bagi kita? Dari mana asal peci? Apakah peci untuk kaum muslim saja? Bagaimana bisa sejarah bangsa terukir karena peci?

Sejarah Awal Peci

Peci sendiri berasal dari Turki, di Turki topi Fez ini juga dikenal dengan nama ‘fezzi’ atau ‘phecy’ atau kalau lidah orang Indonesia menyebutnya dengan Peci. Jika dirunut ke belakang, topi Fez ini berasal dari budaya Yunani Kuno dan diteruskan oleh budaya Yunani Byzantium.
Ketika Turki Ottoman mengalahkan Yunani Byzantium (Anatolia) maka Turki Ottoman mengadopsi budaya penggunaan topi fez ini terutama ketika pemerintahan Sultan Mahmud Khan II (1808-1839). Peci yang dibawa dari Turki membawa pengaruh budaya yang besar apalagi di Asia Tenggara sendiri, beberapa negara juga mengenal peci seperti Malaysia, Singapura dan Brunei. Di Thailand peci disebut songkok. Lain halnya dengan di Mesir, Peci disebut tarboosh dan di Asia Selatan (India dan sekitarnya) disebut Romap Cap/Rumi Cap yang artinya Topi Romawi. Namun, ada yang mengatakan bahwa Peci hasil modifikasi dari sorban Arab dengan blangkon dari Jawa. Peci sendiri mulai menyebar di rumpun Melayu pada abad ke-13, seiring dengan perkembangan Islam di Nusantara.

Peci atau kopiah barangkali agak dekat dengan kepi dalam bahasa Perancis. Bentuk kepi yang biasa dipakai militer Perancis agak mirip dengan kopiah yang kita kenal di Indonesia. Bedanya lebih bulat dan ada semacam kanopi di bagian depannya yang mirip topi. Sementara, istilah songkok, mengacu dari bahasa melayu dan Bugis. Di beberapa daerah di Indonesia dengan pengaruh Melayu dan Bugis, menyebut peci sebagai Songkok. Demikian pula di Malaysia dan Brunei.

Menurut Rozan Yunos, dalam artikelnya The Origin of the Songkok or Kopiah di The Brunei Times (23/09/2007), peci diperkenalkan oleh pedagang-pedagang Arab yang menyebarkan agama Islam. Rozan juga menyebut beberapa ahli berpendapat di Kepulauan Malaya peci atau kopiah ini sudah dipakai pada abad XIII. Setelah dipopulerkan para pedagang Arab itu, baru orang Malaysia, Indonesia dan Brunei mengikutinya.

Sebelum ada peci, laki-laki di Indonesia terbiasa menutup kepala dengan ikat kepala. Tanpa tutup kepala, seorang laki-laki dianggap tak jauh beda dengan orang telanjang. Tutup kepala adalah bagian dari kesopanan.

Lalu, sejak kapan peci dikenal di Indonesia? Dalam buku “babon” Sejarah Nasional Indonesia Jilid III diterangkan kalau peci sesungguhnya sudah dikenal di daerah Giri pada abad ke-15. Konon, pada 1486 sampai 1500 Raja Ternate, Zainal Abidin, berguru ilmu agama ke Giri, yang saat itu merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa. Sekembalinya ke Ternate, Zainal Abidin membawa peci sebagai kenang-kenangan . Masyarakat Bone,Sulawesi Selatan juga sudah mengenal penutup kepala semacam peci sudah sejak lama. Mereka mengenalnya dengan sebutan recca. Recca digunakan oleh pasukan Kerajaan Bone saat mereka berperang melawan pasukan Tortor pada 1683. Recca yang terbuat dari  serat pelapah daun lontar itu digunakan sebagai identitaa pasukan kerajaan. Zaman dahulu ketika raja Bone dijabat La Pawawoi lalu Andi Mappayuki, songkok recca atau peci bugis ini hanya dikenakan bangsawan . Namun dalam perkembangannya songkok tidak hanya digunakan oleh kalangan Raja Bone,tetapi juga rakyat biasa. Peci bugis saat ini jadi bagian dari pakaian daerah Sulawesi Selatan.
Peci mulai ramai dipakai di Indonesia setelah kain lebih mudah diperoleh. Pemakaiannya tak selalu berbaju resmi, ada yang menggunakan peci meski bercelana pendek . Penggunanya pun bukan hanya dari kalangan berada,tetapi juga rakyat jelata. Peci biasanya terbuat dari kain beludru yang diberi rangka plastik padat agar tegak

Bukan Hanya Untuk Kaum Muslim

Di Indonesia peci nyaris identik dengan Islam. Banyak tokoh Islam berfoto dalam keadaan berpeci. Jamaah-jamaah tokoh Islam pun juga pakai peci. Seejak abad XIII peci sudah diperkenalkan kepada orang Islam di Indonesia. Baru pada awal abad XX orang Islam di Indonesia beramai-ramai pakai peci. Dalam perjalanannya, peci dianggap sebagai identitas Islam.

Bukan cuma umat muslim saja yang mengenal peci. Masyarakat Yahudi pun lazim mengenakan peci yang mereka sebut kippah. Penutup kepala ini lebih tipis daripada peci dan biasanya berwarna putih. Kippah dipakai oleh orang-orang Yahudi yang sudah dewasa ketika mereka melaksanakan ritual agama. Peci agak besar seperti fez Turki dipakai juga oleh orang-orang Kristen ortodok di sekitar Timur Tengah. Bahkan jilbab juga dipakai wanita-wanita kristen ortodok.

Salah satu suku di Nusantara yaitu Betawi yang mana masyarakat Betawi mencakup berbagai suku di Nusantara. Mereka sengaja didatangkan oleh VOC di fajar kekuasaannya di Nusantara pada abad ke-17. Di Batavia, masyarakat berbagai suku itu dipisahkan sesengit mungkin atas dasar warna kulit (ras), tempat lahir, dan status kerja terhadap VOC. Pemilahan berikutnya mencakup agama dan suku. Banyak sejarawan menduga di sinilah pangkal sentimen berbasis suku, ras, agama, dan golongan sosial. Seiring dengan pertumbuhan penduduk, sekat buatan VOC bobol di sana-sini. Pemeluk Kristen tidak melulu Eropa. Pemeluk Islam tidak melulu Bumiputra. Ada budak yang diseranikan dan dimerdekakan, lantas menjadi kelompok tersendiri yang disebut Mardjikders. Ada juga pendatang Tionghoa yang kimpoi-kimpoi dengan Bumiputra.
Silang-genetik disusul silang-budaya. Dari musik sampai pakaian adat Betawi sarat pembauran. Musik khas Betawi banyak dipengaruhi Portugis. Pakaian penganten Betawi mengambil tradisi Tionghoa. Bahasa yang dipakai masyarakat Betawi banyak menyerap Melayu-Pasar (Melayu Tionghoa). Jadi tak mengherankan bila melihat upacara gereja Kristen di Betawi memakai aksesoris Betawi. Upacara itu cuma kelanjutan tradisi yang pernah dirintis oleh leluhur mereka di awal pembentukan suku Betawi yang kosmopolis. Sama halnya dengan peci yang merupakan budaya Nusantara ini masih melekat erat di Betawi seperti contoh di Kampung Sawah, di mana orang-orang berkebudayaan Betawi beragama Kristen hidup, memakai peci bagi kaum laki-laki dan kerudung bagi perempuan adalah hal biasa. Perayaan Natal mereka kadang diisi dengan ondel-ondel juga. Mereka berusaha menunjukan Agama Kristen tidak membunuh budaya lokal. Itulah kenapa mereka masih berpeci juga.

Fotografer legendaris asal Yogyakarta di masa Hamengkubuwono VI, Kassian Chepas, 'Sang Pemula' dalam Fotografi Indonesia, juga berpeci dalam sebuah foto dirinya yang dibuat tahun 1905. Kassian Chepas juga seorang kristen. Nama belakangnya, Chepas, adalah nama baptisnya. Chepas tentu bukan satu-satunya orang Kristen yang pakai peci.
Peci sedemikian lekat dengan Islam, padahal tidak demikian. Walikota Bandung Ridwan Kamil mengatakan, peci hitam atau kopiah merupakan penutup kepala khas Indonesia dan tidak ada hubungannya dengan agama .

Penanda Sosial

Peci kemudian menjadi penanda sosial seperti penutup kepala lainnya yang saat itu sudah dikenal seperti kain, turban, topi-topi Barat biasa, dan topi-topi resmi dengan bentuk khusus. Pemerintah kolonial kemudian berusaha mempengaruhi kostum lelaki di Jawa. Jean Gelman Taylor, yang meneliti interaksi antara kostum Jawa dan kostum Belanda periode 1800-1940, menemukan bahwa sejak pertengahan abad ke-19, pengaruh itu tercermin dalam pengadopsian bagian-bagian tertentu pakaian Barat. Pria-pria Jawa yang dekat dengan orang Belanda Mulai memakai pakaian gaya Barat. Menariknya, blangkon atau peci tak pernah lepas dari kepala mereka. Menurut Soekarno asal kata Peci sendiri berasal dari Bahasa Belanda pet (topi) dan je (kecil), kata Belanda untuk mengesankan sifat kecil. Baik dari sejarah pemakaian dan penyebutan namanya, peci mencerminkan Indonesia: satu bangunan “inter-kultur”.

Awalnya Soekarno gamang melihat kaum terpelajar yang meremehkan peci dan blangkon. Kaum terpelajar merasa terhina jika mereka mengenakan blangkon dan peci, yang menurut mereka identik dengan busana tukang becak dan rakyat jelata lainnya. Mereka menjauhkan diri dari kehidupan serta gaya hidup rakyat jelata, dan bersikap elitis. Soekarno membalikkan logika mereka tentang hal itu. Ia beranggapan bahwa kaum terpelajar harus dekat dengan rakyat jelata. Kaum terpelajar tidak akan mungkin dapat memimpin rakyat, jika mereka sendiri menjauhkan diri dari kehidupan rakyat. Pada suatu pertemuan antartokoh pergerakan, Soekarno mulai memakai peci. Ketika ia disidang di Landraad Bandung dan membacakan pleidoinya yang terkenal, “Indonesia Menggugat”, Soekarno pun tetap memakai peci. Sejak saat itu peci bukan saja menjadi ciri khas Soekarno, tetapi juga menjelma menjadi lambang kebangsaan para pejuang kemerdekaan.

Peci di Indonesia menjadi sebuah simbol perlawanan sebuah kesederhanaan untuk membentuk pola keseimbangan dalam masyarakat yang mementingkan material. Hitam dalam sebuah psikologi warna mempunyai rangsangan sifat emosi manusia yang kuat dan mempunyai keahlian walaupun diartikan resmi atau formal, penggunaan Warna hitam juga menunjukkan sifat-sifat yang positif, menandakan sifat tegas, kukuh, formal, struktur yang kuat. Bentuk yang melingkar Mengikuti bentuk kepala menandakan bentuk peci yang luwes dalam membentuk kepala. Pola kesederhanaan yang terbentuk dalam pola perilaku masyarakat Indonesia, sederhana tetapi dapat menciptakan ketangguhan. Keinginan itulah yang ingin dinyatakan dalam sebuah simbolisasi peci yang dikenakan masyarakat terhadap sebuah peci. Kesederhanaan inilah yang ditangkap Soekarno “Founding Father” dalam sebuah pemaknaan peci sebagai simbol nasionalis untuk mempersatukan bangsa, Soekarno mengerti betul tentang simbol kesederhanaan itu dalam sebuah peci. Ada sebuah cerita tentang awal mula Soekarno mempopulerkan pemakaian peci, seperti dituturkannya dalam autobiografi "Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia" yang ditulis Cindy Adams

"Pemuda itu masih berusia 20 tahun. Dia tegang. Perutnya mulas. Di belakang tukang sate, dia mengamati kawan-kawannya, yang menurutnya banyak lagak, tak mau pakai tutup kepala karena ingin seperti orang Barat.
Dia harus menampakkan diri dalam rapat Jong Java itu, di Surabaya, Juni 1921. Tapi dia masih ragu. Dia berdebat dengan dirinya sendiri. “Apakah engkau seorang pengekor atau pemimpin?” “Aku seorang pemimpin.” “Kalau begitu, buktikanlah,” batinnya lagi.
“Majulah. Pakai pecimu. Tarik nafas yang dalam! Dan masuklah ke ruang rapat… Sekarang!” Setiap orang ternganga melihatnya tanpa bicara. Mereka, kaum intelegensia, membenci pemakaian blangkon, sarung, dan peci karena dianggap cara berpakaian kaum lebih rendah.
Dia pun memecah kesunyian dengan berbicara: “Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia. Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip yang dipakai oleh para buruh bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka" . Itulah awal mula Soekarno mempopulerkan pemakain peci.

Bagian dari Sejarah Indonesia

Jika kita membuka-buka buku sejarah, pastilah kita melihat beberapa foto pahlawan nasional mengenakan peci. Peci seolah-olah sudah menjadi ciri khas kaum pergerakan nasional kala itu. Lihat saja Ki Hadjar Dewantara, Haji Agoes Salim, atau Soekarno. Seakan-akan peci tak pernah lepas dari kepala mereka.

Peci yang kita saksikan sampai saat ini menjadi bagian dari kelengkapan pakaian para pemuka masyarakat dan pejabat ternyata tidak muncul begitu saja. Tokoh yang pertama kali mempopulerkan peci adalah Soekarno. Peci menurutnya merupakan lambang identitas Indonesia.
Namun Hendri F. Isnaeni dalam artikelnya berjudul “Nasionalisme Peci” berpendapat bahwa sesungguhnya Soekarno bukan satu-satunya kaum intelektual yang pertama kali mengenakan peci. Fakta sejarah menyebutkan jauh sebelum Indonesia merdeka yaitu pada tahun 1913 digelar rapat Partai Politik SDAP (Sociaal Democratische Arbeiders Partij) di den Haag yang mengundang 3 politisi Hindia-Belanda (yang pada saat itu memang sedang diasingkan ke Negeri Belanda), yaitu Douwes Dekker, Ciptomangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara. Menurut Dr. Van der Meulen yaitu Direktur Departemen Pendidikan dan Ibadah pemerintahan Gubernur Jenderal Van Mook tahun 1946, masing-masing perwakilan menunjukkan identitas yang berlainan. Ki Hajar Dewantara menggunakan topi fez Turki berwarna merah yang memang pada waktu itu pemakaian topi ini begitu populer di kalangan nasionalis setelah timbulnya gerakan Turki Muda tahun 1908 yang menuntut reformasi kepada Sultan Turki. Sedangkan Cipto Mangunkusumo mengenakan kopiah dari beludru hitam dalam rapat tersebut yang pada akhirnya nanti pemakaian peci hitam sebagai jati diri kaum nasionalis Indonesia yang belakangan dipopulerkan oleh Bung Karno pada akhir tahun 1920-an. Sedangkan Douwes Dekker tidak memakai penutup kepala. Setelah Indonesia merdeka, Douwes Dekker memakai peci di masa tuanya yaitu ketika beliau jadi menteri.

Tokoh pergerakan nasional, Muhammad Husni Thamrin, yang sejak 1927 terpilih sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat), menghadiri sidang dengan kepala tertutup peci. Kemungkinan, sejak kecil Thamrin sudah berpeci dan masih mempertahankan peci sebagai identitasnya hingga beliau meninggal.
Soekarno yang besar dalam budaya Jawa tentu beda dengan Thamrin yang besar dalam budaya Betawi, meski beliau Indo. Sedari kecil, Soekarno terbiasa dengan blangkon atau tutup kepala khas Jawa. Begitu pun Bapak Bangsa sekaligus Bapak kos Soekarno, Hadji Oemar Said Cokroaminoto. Dalam film Guru Bangsa Tjokroaminoto (2015), Cokro sempat mempergunakan blangkon sebagai identitas yang diikuti banyak pengikutnya. Belakangan, baik Cokro maupun Soekarno pun berpeci. Blangkon mereka tinggalkan. Sebagai Ketua umum Sarekat Islam (SI), kebiasaan Cokro tentu diikuti. Awalnya, SI hanya berkembang di Jawa saja. Belakangan, SI berkembang di wilayah di mana blangkon bukan tutup kepala lagi. Apalagi pengurus SI lain yang bernama Agus Salim pun orang Padang. Salim semasa muda juga kebarat-baratan. Belakangan, foto-foto Agus Salim kebanyakan berpeci.

Sikap Bung Karno untuk mengenakan peci itu berpengaruh luas. Pada pertengahan tahun 1932, Partindo melancarkan kampanye yang diilhami gerakan swadesi di India, dengan menyerukan agar rakyat hanya memakai barang-barang bikinan Indonesia. Orang-orang pun mengenakan pakaian dari bahan hasil tenunan tangan sendiri yang disebut lurik, terutama untuk peci yang dikenakan umat muslim di Indonesia. Peci lurik mulai terlihat dipakai terutama dalam rapat-rapat Partindo.
Tapi Bung Karno tak pernah memakainya, beliau tetap memakai peci beludru hitam yang bahannya berasal dari pabrik di Italia,” (Molly Bondan dalam Spanning A Revolution).

Setelah kemerdekaan Indonesia, penjaga kedaulatan NKRI yaitu TNI yg dulunya masih bernama TKR, masih sering memakai peci sebagai penutup kepala karena mereka tak memiliki baret atau helm baja untuk menutup kepala. Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang baru saja terbentuk pada 5 Oktober 1945, tak mampu menyediakan baret dan helm baja. Jika ada yang memakai baret atau helm,  itu seringkali hasil rampasan dari tentara musuh. Meskipun tak ada baret, para pahlawan Indonesia tetap terlihat gagah. Panglima Besar Letnan Jendera Soedirman pun juga berpeci seperti Soekarno. Dalam acara resmi , Soedirman lebih sering berpeci. Belum ditemukan ada foto Soedirman pakai batret.

Setelah tahun 1950, peci makin jarang digunakan anak muda. Tak seperti di tahun 1945 . Hanya orang -orang tua atau tokoh masyarakat yang suka memakainya. Anak muda hanya berpeci ketika akan ke mesjid atau acara keagamaan.

Peci memang merupakan simbol nasionalisme. Sayangnya, peci kini hanya sekedar simbol bukan menjadi makna. Menggunakan peci tak begitu saja membuat semua pemakainya menedalani keteladanan pendiri bangsa yang selalu menjaga diri dan menjadi panutan. Semoga dengan warisan budaya berupa peci dan orang yang memakainya memaknai bahwa dia benar-benar orang Indonesia yang punya harkat dan martabat tinggi di mata bangsa lain dan terutama di mata bangsa sendiri. Bukan bagaimana kita terlihat rapi dan sopan karena memakai peci namun cerminan dari kita yaitu dari perkataan dan tindakan yang membuat peci atau apapun yang melekat pada diri kita jadi bermakna.

Sumber:  https://m.kaskus.co.id/thread/598cc14ca2c068b4567/event-sejarah-peci-lebih-dari-sekedar-penutup-kepala